Laksamana TNI (Purn) Sumardjono.

Laksamana TNI (Purn) Sumardjono Soroti Ketimpangan Kebijakan Laut dan Nasib Nelayan

PEKANBARU – Soal ketimpangan kebijakan laut sejatinya akan berdampak terhadap nasib dan masa depan nelayan, kata Ketua Umum DPP Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Laksamana TNI (Purn) Sumardjono, dalam wawancara khusus dengan Bertuahpos, Jumat malam, 11 Juli 2025.

Dia menyoroti berbagai persoalan kompleks yang dihadapi nelayan Indonesia saat ini, termasuk di Provinsi Riau.

Menurutnya, kebijakan kelautan nasional saat ini masih belum berpihak pada realitas hidup nelayan dan kerap mengabaikan karakteristik sosial-budaya di setiap daerah.

“Setiap wilayah perairan di Indonesia punya karakter dan budaya yang berbeda. Tidak bisa disamakan begitu saja. Kapal saja membawa budaya masing-masing,” ujar Sumardjono.

Dia pernah menangkap 56 kapal ilegal ikan asal Thailand yang membawa hampir 1.300 anak buah kapal. Meskipun kapal-kapal tersebut akhirnya disita dan diserahkan ke daerah, tidak ada yang mampu mengoperasikannya karena perbedaan budaya dan teknologi.

Sumardjono mengatakan rendahnya penggunaan teknologi di kalangan nelayan lokal sebagai faktor utama ketimpangan daya saing dengan nelayan asing.

“Nelayan kita masih mewarisi kebiasaan lama. Kalau bapaknya tidak pakai teknologi, anaknya juga begitu. Ini yang sedang kita dorong untuk berubah,” jelasnya.

Dia mendorong program sertifikasi nelayan sebagai jalan keluar. Sertifikasi ini mencakup navigasi, teknik penangkapan ikan, dan standar kualitas tangkapan agar bisa menembus pasar ekspor.

“Kadang satu kapal dapat 30 ton, tapi hanya 10% yang layak ekspor karena salah tangkap atau tidak sesuai standar,” katanya.

Lebih jauh, Sumardjono menyoroti praktik curang di sejumlah daerah, seperti sistem “bon ikan” di Rokan Hilir. Dalam sistem ini, hasil tangkapan nelayan dicatat namun tidak langsung dibayar. Pembayaran ditunda hingga ikan laku terjual, yang kerap dimanipulasi oleh tengkulak untuk menurunkan harga.

“Ini jahat. Nelayan sudah ke laut berbulan-bulan, pulang-pulang tidak bawa uang karena dikompensasi utang dan harga ditekan. Pemerintah daerah harus membasmi praktik semacam ini,” tegasnya.

Dia juga menyebut struktur nelayan Indonesia sangat timpang: dari trader (eksportir), juragan (pemilik kapal), nakhoda, hingga buruh nelayan. Buruh kerap menjadi pihak paling dirugikan dalam sistem ini.

Sementara soal pengawasan laut, Sumardjono mengatakan pentingnya teknologi Vessel Monitoring System (VMS). Namun, harganya sangat mahal dan sulit diakses oleh nelayan kecil. Padahal, tanpa alat ini, banyak nelayan Indonesia tersesat dan masuk ke perairan negara lain, lalu dituduh mencuri ikan.

“VMS itu penting, tapi bagaimana bisa dibeli kalau harga solar saja sudah memberatkan? Pemerintah harus subsidi atau fasilitasi. Jangan malah menyalahkan nelayan terus,” ujarnya.

Sumardjono juga mengkritik keras kebijakan otonomi daerah di laut yang disamakan dengan darat. Menurutnya, laut bersifat menyambung secara global dan tak bisa dipagari berdasarkan batas-batas administratif.

Menurutnya, pemerintah masih dianggap abai dalam perencanaan anggaran kelautan, yang hingga saat ini masih belum maksimal. Dia menekankan pentingnya pengajuan bantuan pendidikan, pelatihan, dan pembiayaan kepada pemerintah pusat sejak jauh hari.

“Kalau mau bantu nelayan, jangan cuma subsidi BBM. Sekolahkan anak nelayan sampai kuliah. Itu bentuk kesejahteraan nyata,” ucapnya.

Dia berharap agar pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan beasiswa khusus bagi anak nelayan melalui berbagai kementerian dan lembaga pendidikan. “Kalau anak nelayan bisa naik kelas jadi juragan, itu keberhasilan. Jangan terus-menerus jadi buruh laut,” katanya.

2025-07-13
x

Check Also

Guru Besar Fakultas Kedokteran Soroti Kebijakan Menkes Budi Gunadi, Ekosistem Pendidikan Bisa Terganggu

Sejumlah guru besar dari berbagai Fakultas Kedokteran di Indonesia kembali menyuarakan kritik tajam terhadap kebijakan kesehatan nasional yang dijalankan oleh Menteri Kesehatan RI Budi ...

Exit mobile version