Perubahan iklim semakin pasti. Dunia kini sedang dalam ancaman potensi meningkatnya pemanasan akibat emisi.
Para ilmuwan iklim dunia mengeluarkan peringatan keras bahwa anggaran karbon global untuk membatasi pemanasan bumi di bawah 1,5°C hanya tersisa sekitar dua tahun lagi—jika emisi terus berlangsung pada tingkat saat ini. Temuan ini menegaskan “betapa gentingnya situasi krisis iklim yang tengah dihadapi dunia.”
Dilansir dari The Guardian, dalam laporan terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Earth System Science Data, tim ilmuwan dari berbagai negara menyebutkan bahwa untuk menjaga peluang sebesar 66 persen agar suhu bumi tetap di bawah 1,5°C, umat manusia hanya dapat menghasilkan emisi maksimal 80 miliar ton karbon dioksida (CO₂) mulai 2025 ke depan. Jumlah ini 80 persen lebih kecil dari total emisi pada 2020.
Namun ironisnya, emisi global justru mencapai rekor tertinggi baru pada 2024. Jika tren ini berlanjut, maka anggaran karbon akan habis hanya dalam waktu dua tahun. Artinya, batas suhu 1,5°C – yang menjadi target utama Kesepakatan Paris – akan terlewati dalam hitungan tahun mendatang.
Saat ini, dunia berada di jalur menuju kenaikan suhu global sebesar 2,7°C—jauh di atas batas aman yang disepakati. Bahkan jika target dinaikkan menjadi 1,7°C, dibutuhkan pengurangan drastis emisi global. Anggaran karbon untuk batas 1,7°C masih memungkinkan selama sembilan tahun ke depan, dengan total 390 miliar ton CO₂. Meski lebih longgar, jalur ini tetap menuntut komitmen besar dari negara-negara di seluruh dunia.
Profesor Joeri Rogelj dari Imperial College London menyebutkan bahwa penyebab utama berkurangnya anggaran karbon adalah kegagalan global dalam menurunkan emisi CO₂ dari pembakaran bahan bakar fosil.
“Waktu terbaik untuk memulai aksi iklim serius adalah tahun 1992. Tapi sekarang, setiap tahun adalah tahun terbaik berikutnya. Setiap fraksi derajat pemanasan yang bisa dicegah akan menyelamatkan lebih banyak jiwa dan mengurangi penderitaan, terutama bagi masyarakat rentan,” ujar Rogelj.
Kenaikan suhu bumi tidak hanya memperburuk cuaca ekstrem, tetapi juga memicu pencairan es di kutub yang berkontribusi pada kenaikan permukaan laut. Menurut laporan tersebut, laju kenaikan permukaan laut kini telah meningkat dua kali lipat dibandingkan dekade sebelumnya, mencapai 4 mm per tahun.
“Air laut yang lebih hangat memperparah badai, merusak ekosistem laut, dan mengancam komunitas pesisir,” kata Dr Karina Von Schuckmann dari Mercator Ocean International. “Tahun 2024 juga mencatat suhu laut tertinggi dalam sejarah.”
Naiknya permukaan laut tidak hanya mengancam wilayah pesisir, namun juga dapat memicu migrasi besar-besaran akibat banjir yang tak terkendali, seperti yang diperingatkan dalam studi sebelumnya pada Mei 2025.
Laporan ini juga menyebutkan bahwa meskipun energi surya dan angin berkembang pesat dan telah membantu mencegah skenario pemanasan 4–5°C, peningkatan permintaan energi global tetap mendorong konsumsi bahan bakar fosil lebih tinggi. Hal ini justru mempercepat bencana iklim.
Profesor Piers Forster dari University of Leeds mengungkapkan keprihatinannya terhadap percepatan perubahan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Ketidakseimbangan energi Bumi meningkat 25% dibanding dekade sebelumnya. Ini sinyal yang sangat mengkhawatirkan,” ujarnya.
Para ilmuwan menekankan bahwa meskipun batas 1,5°C kemungkinan besar akan terlewati, setiap upaya untuk mengurangi pemanasan tetap penting dan bernilai. Mereka menyerukan komitmen nyata dari seluruh negara dalam pertemuan iklim PBB COP30 yang akan digelar November mendatang.
Tahun 2024 sendiri dinyatakan sebagai tahun terpanas dalam sejarah pencatatan suhu global, dengan rata-rata tahunan mencapai 1,5°C. Sayangnya, hingga saat ini belum ada tanda-tanda transisi energi bersih yang dijanjikan pada COP28 di Dubai akhir 2023 lalu.
Dengan waktu yang semakin menipis, dunia menghadapi pilihan krusial: bertindak sekarang untuk memperlambat krisis, atau menghadapi konsekuensi yang lebih parah dalam waktu dekat. Sebab dalam krisis iklim, setiap derajat – bahkan pecahan kecil sekalipun – berarti nyawa dan masa depan jutaan orang.***