Jakarta – Banjir hebat melanda Dubai, Uni Emirat Arab (UEA). Badai yang datang itu tak terprediksi hingga menyebabkan kelumpuhan beragam sistem vital kota dunia itu.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga mengamati fenomena yang muncul kembali setelah puluhan tahun itu. Mereka mengumpulkan sebisa mungkin data yang tersaji di kanal-kanal resmi untuk dijadikan pelajaran bagi Indonesia.
“Banjir yang terjadi di Dubai dikabarkan telah melumpuhkan Bandara Dubai sejak tanggal 16 April 2024. Berdasarkan data curah hujan dari beberapa stasiun pengamatan cuaca di Dubai yang dapat diakses secara global tercatat telah terjadi curah hujan dengan intensitas sangat lebat yaitu 145 mm/hr (Fujairah), 142 mm/hr (Dubai International Airport), dan 124.2 mm/hr (Sharjah International Airport),” kata Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, kepada detikTravel Kamis (19/4/2024).
“Hal yang bisa menjadi pembelajaran dari kejadian banjir di Dubai adalah bahwa ‘Peringatan Dini Cuaca untuk Semua’ (early warning for all) harus menjadi perhatian bersama, demikian pula untuk di Indonesia,” dia menegaskan.
Andri menyebut bahwa kondisi alam di Indonesia juga sangat berpotensi menghasilkan cuaca ekstrem. Keadaan itu disebabkan oleh cepat berubahnya kondisi atmosfer kita.
“Dengan kondisi atmosfer Indonesia yang sangat dinamis berpotensi menghasilkan cuaca esktrem yang dapat memicu terjadinya banjir besar atau bencana hidrometeorologi lainnya,” kata Andri.
Untuk menghadapi situasi terburuk, lembaga itu telah mengembangkan teknologi peringatan cuaca. Traveler akan diberitahu perubahan keadaan alam secara lebih cepat dalam rentang waktu lebih dari seminggu hingga beberapa jam sebelum cuaca buruk.
“Walaupun demikian, BMKG saat ini telah mengembangkan ‘Teknologi Peringatan Dini Cuaca’ yang mampu memberikan informasi sedini mungkin baik dalam skala 10 hari ke depan, 3 hari ke depan, hingga 3 jam sebelum kejadian cuaca ekstrem, sehingga dapat membantu dalam proses mitigasi sebelum bencana hidrometeorologi terjadi,” dia menjelaskan.
Terakhir, terkait banjir dan badai di Dubai, BMKG tidak bisa berkomentar lebih jauh. Itu dikarenakan keterbatasan data daerah UEA.
“Faktor cuaca yang menjadi pemicu terjadinya banjir tersebut belum dapat dianalisis secara detail oleh BMKG karena keterbatasan data observasi cuaca, data dinamika atmosfer serta kondisi geografis di wilayah tersebut,” ujar Andri.
Dikutip dari CNN, seorang pejabat di Pusat Meteorologi Nasional UEA mengatakan bahwa hujan lebat di Dubai itu bukan disebabkan oleh penyemaian awan, sehingga mematahkan rumor bahwa kekacauan tersebut disebabkan oleh ulah manusia.
Penyemaian awan biasa dilakukan untuk meningkatkan curah hujan di daerah kering atau semi kering dan melibatkan penyemaian awan yang ada dengan zat-zat yang pada bisa membantu terbentuknya awan hingga menyebabkan hujan. UEA telah melakukan penyemaian awan sejak 1990-an dan telah melakukannya secara rutin selama beberapa tahun terakhir.
Seperti kawasan Teluk Persia lainnya, Dubai memiliki iklim panas dan kering. Oleh karena itu, curah hujan jarang terjadi, dan infrastruktur kota seringkali gagal menangani kejadian cuaca ekstrem.
Bukan hanya Dubai yang dilanda cuaca buruk, tetapi seluruh wilayah Uni Emirat Arab (UEA), dan sejumlah negara Teluk lainnya. UEA mengalami curah hujan terberat dalam 75 tahun, dengan beberapa daerah mencatat curah hujan lebih dari 250 mm dalam waktu kurang dari 24 jam.
Curah hujan yang sampai membanjiri jalan-jalan, menumbangkan pohon-pohon palem, dan menghancurkan fasad bangunan belum pernah terjadi di negara Timur Tengah tersebut sejak pencatatan dimulai pada tahun 1949. Di Dubai, penerbangan dibatalkan, lalu lintas terhenti, dan sekolah ditutup.***