BUKITTINGGIPOS.COM, SOLOK –Tingginya curah hujan di akhir tahun 2020 hingga awal tahun 2021, suka tidak suka kondisi tersebut berakibat menurunnya hasil pertanian diakibatkan gagal panen, serta berfluktuasinya harga pada beberapa harga komoditi hasil pertanian.
Tidak terkecuali di Kabupaten dan Kota Solok, yang mana masyarakatnya masih didominasi oleh petani, baik petani holtikultura maupun petani padi (gabah), yang harganya melonjak naik, dari harga sebelum tingginya curah hujan.
Kondisi itu tentunya bukan hanya menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah setempat, namun perhatian dalam bentuk sikap nyata langsung justru ditunjukkan oleh Kodim 0309 Solok, melalui Babinsa Koramil 08/ Bukit Sundi Sertu Gusriandi.
Gerak cepat, dirinya bersama perangkat Nagari langsung turun Kelapangan memantau kilang penampungan yang ada di wilayah Kec. Bukit Sundi Kab. Solok, untuk melihat kondisi real stock gabah dilapangan, Rabu (20/01/2021).
Dimana, tindak nyata yang dilaksanakan oleh Sertu Gusriandi, merupakan sikap untuk Memastikan tentang Ketersedian stok pangan, khususnya di wilayah binaannya, karena banyaknya keluhan masyarakat di pasaran sekitaran Wilayah Kec. Bukit Sundi, disebabkan terjadinya kenaikan harga beras dari beberapa jenis dan kualitas berbeda.
Dijelaskannya, bahwa dari hasil tinjau lapangan, adapun salah satu yang menjadi penyebab terjadinya kenaikan harga gabah, adalah para petani tidak bisa mengeringkan gabahnya secara maksimal dan membutuhkan waktu, ditambah lagi kondisi cuaca yang masih sering hujan. Jadinya gabah menumpuk digudang, dan malahan ada yang sudah rusak.
“kita sudah lakukan kunjungan ke beberapa kilangan yang ada diwilayah teritorial koramil 08/Bukit Sundi di Nagari Muapra Panas. Dimana kenaikan harga beras salah satunya adalah akibat dari kondisi cuaca yang tidak menentu, dan masih seringnya hujan, sehingga gabah menumpuk di penggilangan dan proses pengeringannnya butuh watu lebih lama, kalau dibandingkan dengan cuaca yang panas. Dan malahan kita juga ada menemukan gabah yang mulai tumbuh digudang penyimpanan,” tuturnya.
Selain itu, juga dijelaskannya bahwa tindakan yang dijalakannya bersama perangkat nagari setempat, juga sekaligus menyikapi data yang ada pada Badan Pusat Statistik ( BPS), bahwa harga gabah di tingkat petani di Provinsi Sumbar tercatat mengalami penurunan sebesar 1,34 persen dari Rp 5.290,96 per kilogram pada Oktober 2020 menjadi Rp 5.220,14 per kilogram pada November 2020.
Dari data di Sumbar sebagian besar jenis padi yang ditanam adalah IR 42 dan jenis itu harga gabahnya cukup tinggi, bahkan hingga Rp8.000 hingga Rp9.000 per kilogram.
Padahal HPP yang tertuang dalam Permendag tidak sampai Rp5.000 per kilogram.
Artinya bila terjadi kondisi gabah yang anjlok di tingkat petani atau malah ditawari lebih murah dari HPP oleh pihak lain, maka Harga dipasaran akan stabil.
“Di Sumbar ini bisa dikatakan panennya saling bergantian antar daerah. Jadi tidak akan pernah putus produksi padi di Sumbar,” menurut Sertu Gusriandi.
Kondisi yang demikian juga tidak dapat dipungkiri bahwa cukup banyak beras Sumbar dipasarkan ke sejumlah daerah terutama untuk provinsi tetangga di Sumatra Barat.
“Dengan kondisi demikian maka serapan beras lokal Sumbar bisa dilakukan secara maksimal dan harga gabah tidak akan naik dipasaran,” ujar Sertu Gusriandi.(Jon)