Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dinilai berpotensi menimbulkan efek domino terhadap perekonomian nasional. Kebijakan ini dinilai tidak tepat, mengingat situasi ekonomi nasional dan global saat ini masih menghadapi tantangan berat.
Wakil Sekretaris DPP APINDO Riau, M. Herwan, menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN akan menempatkan dunia usaha dalam situasi dilematis.
“Dengan meningkatnya biaya produksi, harga barang harus dinaikkan. Namun, konsekuensinya akan memengaruhi daya beli masyarakat, yang pada akhirnya menurunkan permintaan dan penjualan barang serta jasa,” katanya di Pekanbaru, Kamis, 21 November 2024.
Kenaikan tarif PPN dipastikan berdampak langsung pada harga barang dan jasa, baik bahan baku industri maupun bahan pendukungnya. Akibatnya, biaya produksi juga akan mengalami lonjakan yang signifikan.
Selain itu, kenaikan harga barang dan jasa akibat peningkatan biaya produksi dan distribusi diperkirakan akan memicu tekanan inflasi. Jika tidak dikelola dengan baik, kondisi ini berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Herwan menambahkan, dunia usaha harus menghadapi risiko kehilangan daya saing, terutama bagi sektor-sektor yang sangat bergantung pada bahan baku impor.
“Ketika harga produk lokal melonjak, konsumen mungkin beralih ke barang impor yang lebih murah, sehingga industri domestik semakin tertekan,” ujarnya.
Tidak hanya itu, tekanan inflasi yang diakibatkan kenaikan tarif PPN juga dapat memperburuk kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan daya beli yang semakin menurun, kelompok ini akan semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah diminta untuk mempertimbangkan kembali rencana kenaikan tarif PPN. Pelaku usaha berharap ada kebijakan fiskal yang lebih bijaksana untuk mendorong pemulihan ekonomi tanpa membebani dunia usaha dan masyarakat.
Kenaikan PPN menjadi tantangan besar bagi semua pihak. Jika kebijakan ini tetap dilaksanakan tanpa mitigasi yang memadai, perekonomian nasional berisiko menghadapi tekanan yang lebih berat di tengah upaya pemulihan pasca-pandemi.***